Melampaui Lensa: Membekali Pengabdi Negeri dengan Seni Memotret Lewat Smartphone

Experience & Opinion Feature My Fotografi

Di tengah bentang kepulauan Indonesia yang luas, dari pesisir Sulawesi hingga lereng-lereng perbukitan Sumatera, bekerja tim-tim kecil dari sebuah Yayasan di Bogor , mereka hadir di tengah masyarakat, menjangkau yang tak terjangkau, dan mendampingi yang terpinggirkan. Mereka adalah wajah-wajah pengabdi, merekam jejak langkah perubahan dalam sunyi. Namun sayangnya, tidak semua momen berarti yang mereka saksikan sempat terdokumentasikan dengan layak. Foto-foto yang seharusnya menjadi penghubung antara cerita lapangan dan publikasi internal masih tersaji dengan kualitas visual yang seadanya.

Itulah yang menjadi latar belakang mengapa saya, Edy Susanto, diundang untuk mengisi sesi pelatihan fotografi smartphone secara daring bagi tim-tim mereka di berbagai wilayah. Walau jarak memisahkan kami secara geografis, teknologi mempertemukan kami dalam satu ruang belajar yang melintasi batas-batas pulau. Dan dari ruang digital itulah, kami memulai perjalanan yang sederhana namun berdampak: belajar memotret dengan hati dan memahami cahaya lewat gawai yang ada di genggaman—smartphone.

Dalam pelatihan ini, saya memperkenalkan pendekatan fotografi jurnalistik—sebuah metode yang tak sekadar mengajarkan cara mengambil gambar, tetapi bagaimana menangkap momen yang sarat makna. Setiap foto bukan sekadar estetika, melainkan medium bercerita. Kami mendalami bagaimana mengenali komposisi yang kuat, memanfaatkan pencahayaan alami, hingga menyusun narasi visual hanya dengan perangkat yang mereka miliki sehari-hari. Tak ada kamera profesional. Tak ada studio. Hanya semangat untuk belajar, mengamati, dan menyampaikan kisah melalui gambar.

Yang paling menggembirakan adalah hasilnya. Ketika kami membandingkan foto sebelum dan sesudah pelatihan, transformasinya terasa nyata. Framing menjadi lebih sadar, sudut pandang lebih dalam, dan setiap gambar mulai menyampaikan cerita. Pelatihan yang hanya berdurasi singkat ini ternyata mampu membuka perspektif baru—sebuah pencerahan bahwa siapa pun bisa menjadi visual storyteller selama mereka memahami esensinya.

Bagi saya, sesi ini lebih dari sekadar transfer pengetahuan teknis. Ia adalah upaya kolektif untuk memperkuat suara mereka yang bekerja di akar rumput, agar kisah mereka tak lenyap oleh waktu. Ketika tiap tangan yang bekerja di lapangan mampu mengabadikan satu momen yang otentik, maka satu kisah Indonesia telah diselamatkan.

Di era digital seperti sekarang, kemampuan mendokumentasikan dengan baik adalah salah satu bentuk keberdayaan. Dan terkadang, semua itu bisa dimulai dari satu sesi daring, satu kamera smartphone, dan satu kesadaran baru untuk melihat dunia dengan lebih peka