Dalam era revolusi teknologi yang semakin pesat, dunia maya telah bertransformasi menjadi arena pertempuran yang tidak terlihat. Peretasan kini tidak hanya berkaitan dengan keuntungan finansial atau sensasi belaka, tetapi juga menjadi alat perjuangan ideologis yang diperjuangkan dalam konteks digital.
Para hacktivist saat ini bukan sekadar peretas biasa; mereka adalah aktivis yang menggunakan keterampilan teknis untuk memperjuangkan isu-isu penting seperti keadilan iklim dan hak asasi manusia. Contohnya, grup EcoPhantom pada tahun 2024 berhasil menghentikan operasi jaringan pipa minyak di Eropa selama 72 jam, mengirimkan pesan kuat bahwa setiap tetesan minyak yang hilang adalah kerugian bagi Bumi. Mereka juga membocorkan dokumen rahasia yang menunjukkan praktik lobi perusahaan energi yang merugikan lingkungan.
Di sisi lain, kelompok seperti DigitalShield berjuang untuk melindungi hak-hak minoritas. Mereka meretas server pemerintah yang bersikap represif untuk mengungkapkan kasus penyensoran dan kekerasan sistematis. Serangan mereka sering kali diiringi dengan aksi digital sit-in, membanjiri situs target hingga lumpuh, sebagai bentuk protes virtual.
Sementara itu, negara-negara besar juga terlibat dalam konflik siber yang berbahaya. Kelompok APT seperti Lazarus dari Korea Utara dan Cozy Bear dari Rusia terus meningkatkan kemampuan serangan mereka. Sebuah serangan spear-phishing berbasis AI pada tahun 2024 berhasil menembus jaringan NATO, mencuri dokumen strategis mengenai keamanan kuantum.
Tiongkok dituduh menggunakan infrastruktur digitalnya sebagai alat diplomasi, dengan menyisipkan backdoor pada jaringan 5G di negara-negara berkembang. Ini menunjukkan bahwa perang informasi di abad ke-21 semakin nyata dan berbahaya.
Ransomware telah berevolusi menjadi ancaman yang lebih kompleks. Ransomware 2.0 tidak hanya mengenkripsi data, tetapi juga mencuri informasi dan menggunakan deepfake untuk memperdaya korban. Sebuah rumah sakit di Jerman hampir membayar tebusan $10 juta setelah video deepfake direktur rumah sakit beredar, mengklaim adanya manipulasi data pasien.
Munculnya layanan “Ransomware as a Service” (RaaS) di dark web memungkinkan siapa saja, bahkan yang tidak berpengalaman, untuk menyewa malware canggih. Sekitar 40% serangan ransomware pada tahun 2024 dilakukan oleh peretas pemula yang membeli paket RaaS.
Di tengah berbagai ancaman, komunitas ethical hacker berperan penting dalam menjaga keamanan siber. Melalui program bug bounty, mereka bekerja sama dengan perusahaan untuk menemukan celah keamanan sebelum dieksploitasi. Seorang remaja dari India berhasil mengamankan sistem bank sentral dan mendapatkan imbalan $250.000, mengungkapkan bahwa “meretas untuk kebaikan itu seperti menjadi superhero tanpa jubah.”
Meskipun teknologi terus berkembang, regulasi masih tertinggal. Global Cybersecurity Pact 2024 yang diinisiasi PBB berupaya menuntut transparansi serangan siber, namun implementasinya masih berantakan. Kesadaran masyarakat mengenai keamanan siber juga rendah, dengan banyak orang masih menggunakan kata sandi yang sama untuk berbagai akun.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa keamanan siber bukan hanya tanggung jawab teknologi, tetapi harus menjadi bagian dari budaya kolektif kita.
Salam
Edy Susanto